Pertanyaan :
Assalamu’alaikum wr. wb
Saya saat ini bekerja pada salah satu bank swasta nasional (konvesional). Total masa kerja saya ± 14 tahun di bidang perbankan (merskipun bukan pada satu institusi). Pada suatu malam di bulan Ramadhan 1427 yang lalu saya mengikuti ceramah tarawih dengan materi tentang Ekonomi syariah.Sejak itu sampai sekarang saya selalu gelisah apabila mengingat salah satu inti ceramah itu yang menyebutkan bhwa bunga Bank adalah termasuk Riba yang dilarang oleh Allah swt.
Saya saat ini telah berencana untuk berpindah pekerjaan ke sektor non perbankan karena saya takut apabila bunga Bank benar termasuk Riba, maka alangklah dosanya saya karena selama ini telah memberikan kepada istri anak dan keluarga saya rezeki yang tidak halal meskipun setiap kali berangkat bekerja saya selalu meniatkan beribdah memenuhi kewajiban saya sebagai keluarga untuk mencari rezeki yang halalan thoyiban.
Billahi taufiq wal hidayah.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Yon (xxx@yahoo.com)
Assalamu’alaikum wr. wb
Saya saat ini bekerja pada salah satu bank swasta nasional (konvesional). Total masa kerja saya ± 14 tahun di bidang perbankan (merskipun bukan pada satu institusi). Pada suatu malam di bulan Ramadhan 1427 yang lalu saya mengikuti ceramah tarawih dengan materi tentang Ekonomi syariah.Sejak itu sampai sekarang saya selalu gelisah apabila mengingat salah satu inti ceramah itu yang menyebutkan bhwa bunga Bank adalah termasuk Riba yang dilarang oleh Allah swt.
Saya saat ini telah berencana untuk berpindah pekerjaan ke sektor non perbankan karena saya takut apabila bunga Bank benar termasuk Riba, maka alangklah dosanya saya karena selama ini telah memberikan kepada istri anak dan keluarga saya rezeki yang tidak halal meskipun setiap kali berangkat bekerja saya selalu meniatkan beribdah memenuhi kewajiban saya sebagai keluarga untuk mencari rezeki yang halalan thoyiban.
Billahi taufiq wal hidayah.
Wassalamu’alaikum wr.wb
Yon (xxx@yahoo.com)
Jawab :
Ir. Muhammad Ismail Yusanto, MM
Sabda Rasululullah SAW, “Akan datang kepada umat ini suatu masa
nanti ketika orang-orang menghalalkan riba dengan alasan: aspek perdagangan”
(HR Ibnu Bathah, dari Al ‘Auzai).
Pengantar
Dalam kehidupan kaum Muslimin yang semakin sulit ini, memang ada yang tidak memperdulikan lagi masalah halal dan haramnya bunga bank.Bahkan ada pendapat yang terang-terangan menghalalkannya.Ini dikarenakan keterlibatan kaum Muslimin dalam sistem kehidupan Sekularisme-Kapitalisme Barat serta sistem Sosialisme-Atheisme.Bagi yang masih berpegang teguh kepada hukum Syariat Islam, maka berusaha agar kehidupannya berdiri di atas keadaan yang bersih dan halal.Namun karena umat pada masa sekarang adalah umat yang lemah, bodoh, dan tidak mampu membeda-bedakan antara satu pendapat dengan pendapat lainnya, maka mereka saat ini menjadi golongan yang paling bingung, diombang-ambing oleh berbagai pendapat dan pemikiran.
Dalam kehidupan kaum Muslimin yang semakin sulit ini, memang ada yang tidak memperdulikan lagi masalah halal dan haramnya bunga bank.Bahkan ada pendapat yang terang-terangan menghalalkannya.Ini dikarenakan keterlibatan kaum Muslimin dalam sistem kehidupan Sekularisme-Kapitalisme Barat serta sistem Sosialisme-Atheisme.Bagi yang masih berpegang teguh kepada hukum Syariat Islam, maka berusaha agar kehidupannya berdiri di atas keadaan yang bersih dan halal.Namun karena umat pada masa sekarang adalah umat yang lemah, bodoh, dan tidak mampu membeda-bedakan antara satu pendapat dengan pendapat lainnya, maka mereka saat ini menjadi golongan yang paling bingung, diombang-ambing oleh berbagai pendapat dan pemikiran.
Dalam tulisan yang singkat ini, ada beberapa aspek yang ingin diketengahkan
tentang seputar masalah riba :
Pertama, bunga riba dalam tinjauan sejarah. Akan dijelaskan secara singkat peran Bani Israil dan tingkah laku mereka dalam masalah riba.
Kedua, diketengahkan kelakuan orang-orang Yahudi dalam mengubah syariatnya sendiri (Hukum Allah SWT). Secara singkat akan dipaparkan peran kaum Yahudi dalam menghalalkan riba.
Ketiga, masih dalam kerangka tingkah laku kaum Yahudi, diceritakan juga serba sedikit usaha-usaha mereka dalam membangun jaringan kehidupan dalam bidang ekonomi dan keuangan dunia, khususnya dalam bidang moneter dan perbankan.
Pertama, bunga riba dalam tinjauan sejarah. Akan dijelaskan secara singkat peran Bani Israil dan tingkah laku mereka dalam masalah riba.
Kedua, diketengahkan kelakuan orang-orang Yahudi dalam mengubah syariatnya sendiri (Hukum Allah SWT). Secara singkat akan dipaparkan peran kaum Yahudi dalam menghalalkan riba.
Ketiga, masih dalam kerangka tingkah laku kaum Yahudi, diceritakan juga serba sedikit usaha-usaha mereka dalam membangun jaringan kehidupan dalam bidang ekonomi dan keuangan dunia, khususnya dalam bidang moneter dan perbankan.
Keempat, mengetengahkan bagaimana bank pada awalnya berdiri, serta keterlibatan
umat Islam Indonesia dalam masalah perbankan pada dekade awal abad XX sampai
sekarang.
Kelima, mengetengahkan usaha-usaha para tokoh masyarakat Islam (intelektual dan kaum modernis) dalam menghalalkan riba (bunga) bank.
Keenam, mengetengahkan hukum riba yang tetap haram sampai Hari Kiamat.
Kelima, mengetengahkan usaha-usaha para tokoh masyarakat Islam (intelektual dan kaum modernis) dalam menghalalkan riba (bunga) bank.
Keenam, mengetengahkan hukum riba yang tetap haram sampai Hari Kiamat.
Riba dan Yahudi dalam Tinjauan Sejarah
Sejak dahulu, Allah SWT telah mengharamkan riba.Keharamannya adalah abadi dan tidak boleh diubah sampai Hari Kiamat.Bahkan hukum ini telah ditegaskan dalam syariat Nabi Musa as, Isa as, sampai pada masa Nabi Muhammad saw.Tentang hal tersebut, Al Qur-aan telah mengabarkan tentang tingkah laku kaum Yahudi yang dihukum Allah SWT akibat tindakan kejam dan amoral mereka, termasuk di dalamnya perbuatan memakan harta riba. Firman Allah SWT:
Sejak dahulu, Allah SWT telah mengharamkan riba.Keharamannya adalah abadi dan tidak boleh diubah sampai Hari Kiamat.Bahkan hukum ini telah ditegaskan dalam syariat Nabi Musa as, Isa as, sampai pada masa Nabi Muhammad saw.Tentang hal tersebut, Al Qur-aan telah mengabarkan tentang tingkah laku kaum Yahudi yang dihukum Allah SWT akibat tindakan kejam dan amoral mereka, termasuk di dalamnya perbuatan memakan harta riba. Firman Allah SWT:
“….disebabkan oleh kezhaliman orang-orang Yahudi, maka Kami
telah haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya)
telah dihalalkan bagi mereka; dan (juga) karena mereka banyak menghalangi (manusia)
dari jalan Allah; serta disebabkan mereka memakan riba.Padahal sesungguhnya
mereka telah dilarang memakannya, dan mereka memakan harta dengan jalan yang
bathil (seperti memakan uang sogok, merampas harta orang yang lemah. Kemudian)
Kami telah menyediakan bagi orang-orang kafir di antara mereka itu siksa yang
pedih” (QS An Nisaa’ : 160-161).
Dalam sejarahnya, orang Yahudi adalah kaum yang sejak dahulu
berusaha dengan segala cara menghalangi manusia untuk tidak melaksanakan
syariat Allah SWT. Mereka membunuh para nabi, berusaha mengubah bentuk dan isi
Taurat dan Injil, serta menghalalkan apa saja yang telah diharamkan Allah SWT,
misalnya menghalalkan hubungan seksual antara anak dengan ayah, membolehkan
adanya praktek sihir, menghalalkan riba sehingga terkenallah dari dahulu
sampai sekarang bahwa antara Yahudi dengan perbuatan riba adalah susah
dipisahkan. Tentang eratnya antara riba dengan gerak kehidupan kaum Yahudi,
kita dapat mengetahuinya di dalam kitab suci mereka:
“Jikalau kamu memberikan pinjaman uang kepada umatku, yaitu
kepada orang-orang miskin yang ada di antara kamu, maka janganlah kamu
menjadikan baginya sebagai orang penagih hutang yang keras, dan janganlah
mengambil bunga daripadanya” (Keluaran, 22:25).
Dalam kitab Imamat (orang Lewi), tersebut pula larangan yang
senada. Pada kitab tersebut disebutkan agar orang-orang Yahudi tidak mengambil
riba dari kalangan kaumnya sendiri:
“Maka jikalau saudaramu telah menjadi miskin dan tangannya
gemetar besertamu ….., maka janganlah kamu mengambil daripadanya bunga dan laba
yang terlalu (besar)…… jangan kamu memberikan uangmu kepadanya dengan memakai
bunga …..” (Imamat 35-37).
Jelaslah di dalam ayat-ayat tersebut bahwa orang-orang Yahudi
telah dilarang memakan riba (bunga).Namun dalam kenyataannya, mereka
membangkang dan mengabaikan larangan tersebut.Mengapa mereka demikian berani
melanggar ketentuan hukum Taurat itu? Dalam hal ini, Buya Hamka (alm) mengutip
dari buku Taurat pada kitab Ulangan pasal 23 ayat 20 :
“Maka dari bangsa lain, kamu boleh mengambil bunga (riba).
Tetapi dari saudaramu, maka tidak boleh kamu mengambilnya supaya diberkahi
Tuhan Allahmu, agar kamu dalam segala perkara tanganmu mampu memegang negeri,
(seperti) yang kamu tuju (cita-citakan) sekarang adalah hendaklah (kamu)
mengambilnya sebagai bagian dari harta pusakamu”.
Berdasarkan kutipan di atas, Buya Hamka menarik kesimpulan bahwa
ayat tersebut telah menjadi pegangan kaum Yahudi sedunia sampai
sekarang.Mereka, biarpun tidak duduk pada kursi pemerintahan di suatu negeri,
tetapi merekalah yang justru menguasai pemerintahan negeri tersebut melalui
bentuk pinjaman ribawi (membungakan uangnya) yang menjerat leher.
Yahudi dan Penguasaan Moneter Internasional
Dalam sebuah penggalan naskah Protokolat, yaitu berupa strategi jahat Yahudi, disebutkan bahwa kebangkrutan berbagai negara di bidang ekonomi adalah hasil kreasi gemilang mereka, misalnya dengan kredit (pinjaman) yang menjerat leher negara non-Yahudi yang makin lama makin terasa sakit. Mereka katakan bahwa bantuan luar negeri yang telah dilakukan boleh dikatakan laksana seonggok benalu yang mencerap habis segenap potensi perekonomian negara tersebut.
Dalam sebuah penggalan naskah Protokolat, yaitu berupa strategi jahat Yahudi, disebutkan bahwa kebangkrutan berbagai negara di bidang ekonomi adalah hasil kreasi gemilang mereka, misalnya dengan kredit (pinjaman) yang menjerat leher negara non-Yahudi yang makin lama makin terasa sakit. Mereka katakan bahwa bantuan luar negeri yang telah dilakukan boleh dikatakan laksana seonggok benalu yang mencerap habis segenap potensi perekonomian negara tersebut.
Memang dalam kenyataannya pada masa sekarang, orang-orang Yahudi telah berhasil
menguasai sistem moneter internasional, khususnya dalam bidang
perbankan.Misalnya, penguasaan mereka terhadap pusat keuangan di Wallstreet
(New York).Tempat ini merupakan pangsa bursa (uang) terbesar di
dunia.Sirkulasi keuangan di Amerika Serikat telah dikuasai oleh orang-orang
Yahudi sejak awal abad XX sampai sekarang.
Di samping itu, mereka juga menguasai bidang-bidang industri (yang umumnya
dibutuhkan oleh orang banyak), perdagangan internasional (dalam bentuk
perusahaan-perusahaan raksasa), yang tersebar di seluruh Amerika, Eropa dan
negeri-negeri di Asia dan Afrika. Sebagai misal, di Amerika, orang-orang
Yahudi menguasai perusahaan General Electric, Fairstone, Standard Oil, Texas
dan Mobil Oil. Dalam perdagangan valuta asing, maka setiap 10 orang broker,
sembilan di antaranya adalah orang-orang yahudi.
Di Perancis, sebagian saham yang tersebar di berbagai bidang kehidupan adalah milik orang-orang Yahudi. Dalam menghancurkan moral di suatu negeri, orang-orang Yahudi dan antek-anteknya ikut andil; misalnya mengelola usaha Kasino, Nigth Club, atau perdagangan obat bius.
Di Perancis, sebagian saham yang tersebar di berbagai bidang kehidupan adalah milik orang-orang Yahudi. Dalam menghancurkan moral di suatu negeri, orang-orang Yahudi dan antek-anteknya ikut andil; misalnya mengelola usaha Kasino, Nigth Club, atau perdagangan obat bius.
Umat Islam Indonesia dan Perbankan
Sistem perbankan telah muncul di dunia Islam sejak kedatangan penjajah Barat menyerbu ke berbagai negeri Islam.Di negeri-negeri jajahannya, mereka menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme yang bertumpu kepada sistem perbankan (riba).
Di Indonesia muncul bank pertama, yaitu Bank Priyayi, tahun 1846 di Purwokerto, dengan pendirinya Raden Bei Patih Aria Wiryaatmaja dari kalangan keraton. Kemudian secara meluas di berbagai daerah, berdiri Bank Rakyat (Volksbank); antara lain di Garut (1898), Sumatera Barat (1899), dan Menado (1899).
Sistem perbankan telah muncul di dunia Islam sejak kedatangan penjajah Barat menyerbu ke berbagai negeri Islam.Di negeri-negeri jajahannya, mereka menerapkan sistem ekonomi Kapitalisme yang bertumpu kepada sistem perbankan (riba).
Di Indonesia muncul bank pertama, yaitu Bank Priyayi, tahun 1846 di Purwokerto, dengan pendirinya Raden Bei Patih Aria Wiryaatmaja dari kalangan keraton. Kemudian secara meluas di berbagai daerah, berdiri Bank Rakyat (Volksbank); antara lain di Garut (1898), Sumatera Barat (1899), dan Menado (1899).
Dalam menanamkan sistem perbankan ini, penjajah Belanda mendirikan Sentral
Kas, tahun 1912, yang berfungsi sebagai pusat keuangan.Dari kalangan
intelektual, didirikanlah Indonesische Studie Club di Surabaya tahun 1929.
Kemudian Belanda, dalam menyuburkan sistem riba, mendirikan Algemene Volkscredit
Bank (AVB) tahun 1934.
Pada tahun-tahun pertama setelah terusirnya pejajah Belanda dari Indonesia, didirikanlah Yayasan Pusat Bank Indonesia tahun 1945, yang menjadi cikal bakal Bank Indonesia sekaligus memberikan rekomendasi pendirian bank-bank yang ada. Melalui PP No.1, tahun 1946, lahirlah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pada tahun yang sama, menyusul berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI) 1946. Kemudian jumlah bank semakin bertambah banyak.Di antaranya Bank Industri Negara (BIN, 1952), Bank Bumi Daya (BBD, 19 Agustus 1959).Bank Pembangunan Industri (BPI, 1960), Bank Dagang Negara (BDN, 2 April 1960), Bank Export-Import Indonesia (Bank Exim) yang dinasionalisasikan pada 30 Nopember 1960.Pada tahun-tahun berikutnya sampai sekarang, dunia perbankan tumbuh seperti jamur di musim hujan.
Pada tahun-tahun pertama setelah terusirnya pejajah Belanda dari Indonesia, didirikanlah Yayasan Pusat Bank Indonesia tahun 1945, yang menjadi cikal bakal Bank Indonesia sekaligus memberikan rekomendasi pendirian bank-bank yang ada. Melalui PP No.1, tahun 1946, lahirlah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Pada tahun yang sama, menyusul berdirinya Bank Negara Indonesia (BNI) 1946. Kemudian jumlah bank semakin bertambah banyak.Di antaranya Bank Industri Negara (BIN, 1952), Bank Bumi Daya (BBD, 19 Agustus 1959).Bank Pembangunan Industri (BPI, 1960), Bank Dagang Negara (BDN, 2 April 1960), Bank Export-Import Indonesia (Bank Exim) yang dinasionalisasikan pada 30 Nopember 1960.Pada tahun-tahun berikutnya sampai sekarang, dunia perbankan tumbuh seperti jamur di musim hujan.
Secara garis besar, dunia perbankan di Indonesia didominasi oleh bank-bank yang
menjadi Badan Usaha Milik Negara/BUMN (misalnya BNI 1946, BRI, BDN) dan
bank-bank milik swasta.Untuk yang pertama, jumlahnya tidak terlalu banyak.
Tetapi untuk yang kedua, ia terbagi ke dalam tiga kategori; yaitu swasta asli
Indonesia (misalnya Bank Susila Bakti, Bank Arta Pusara, Bank Umum Majapahit),
swasta merger bank luar (misalnya Lippo Bank, BCA, Bank Summa), dan bank luar
tulen (misalnya Chase Manhattan, Deutsche Bank, Hongkong Bank, Bank of
America).
Untuk melihat perkembangan perbankan di Indonesia, saat ini telah dibangun sejumlah 2652 bank (tidak termasuk BRI dan BRI Unit Desanya).Menurut standard Amerika ditilik dari jumlah penduduk Indonesia, maka negeri ini masih memerlukan 7800 bank lagi.
Untuk melihat perkembangan perbankan di Indonesia, saat ini telah dibangun sejumlah 2652 bank (tidak termasuk BRI dan BRI Unit Desanya).Menurut standard Amerika ditilik dari jumlah penduduk Indonesia, maka negeri ini masih memerlukan 7800 bank lagi.
Sistem Perbankan dan Organisasi Keagamaan
Sebelum tahun 1990-an umat Islam Indonesia belum terlibat langsung.Sistem ini sejak dahulu hanya diminati oleh kalangan konglomerat. Namun sejak diadakan penandatangan kerja sama antara Bank Summa dengan Organisasi keagamaan NU tanggal 2 Juni 1990, maka umat Islam Indonesia telah mulai dilibatkan langsung dalam praktek perbankan. Dalam perjanjian kerjasama tersebut telah disepakati untuk didirikan sebanyak 2000 buah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di seluruh Indonesia.Namun sebelumnya BPR telah berdiri tanggal 25 Februari 1990. BPR ini memberikan pinjaman kredit sebesar antara 100.000 sampai 500.000 rupiah dengan bunga 2,25% per bulan, untuk pengusaha /pedagang kecil, petani, dan untuk umum kredit tersebut berkisar antara 25 sampai 200 juta rupiah.
Sebelum tahun 1990-an umat Islam Indonesia belum terlibat langsung.Sistem ini sejak dahulu hanya diminati oleh kalangan konglomerat. Namun sejak diadakan penandatangan kerja sama antara Bank Summa dengan Organisasi keagamaan NU tanggal 2 Juni 1990, maka umat Islam Indonesia telah mulai dilibatkan langsung dalam praktek perbankan. Dalam perjanjian kerjasama tersebut telah disepakati untuk didirikan sebanyak 2000 buah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) di seluruh Indonesia.Namun sebelumnya BPR telah berdiri tanggal 25 Februari 1990. BPR ini memberikan pinjaman kredit sebesar antara 100.000 sampai 500.000 rupiah dengan bunga 2,25% per bulan, untuk pengusaha /pedagang kecil, petani, dan untuk umum kredit tersebut berkisar antara 25 sampai 200 juta rupiah.
Rencana NU untuk mendirikan BPR sesungguhnya bukan masalah baru lagi.Ide itu
telah ada dan dibahas berulang-ulang dalam berbagai kesempatan kongres besar
NU. Pada awalnya NU mengharamkannya; kemudian memberikan alternatif fatwa yaitu
haram, halal dan subhat; dan terakhir tanggal 22 Juli 1990, NU melalui
Abdurrahman Wahid sebagai PB NU telah menghalalkannya.
Fatwa NU ini lalu diikuti oleh Muhammadiyah melalui AS Projokusumo (sebagai PB Muhammadiyah).Alasan yang dikemukannya adalah karena fatwa tersebut diputuskan melalui perdebatan para ulama yang dikenal telah mendalami masalah-masalah hukum Islam. Majelis Ulama Indonesia, melalui KH Hasan Basri, menyambut baik keputusan NU ini. Menurut beliau, keputusan tersebut dikeluarkan atas dasar musyawarah para ulama yang memahami hukum Islam.
Fatwa ini menimbulkan reaksi antara yang pro dan kontra di kalangan ulama dan intelektual Muslim.Dari kubu yang tidak setuju, muncullah pernyataan dari Dekan Fakultas Syariah IAIN Jakarta, Dr Peunoh Daly.Ia berkata bahwa bank yang dibentuk oleh NU maupun Muhammadiyah seharusnya bank yang Islami, bukan bank yang hanya menjadi alat untuk pemerataan riba. Beliau menandaskan bahwa sampai sekarang belumlah ada bank yang bersifat Islami di Indonesia.Ia merasa heran mengapa sistem muamalah yang telah diatur oleh Islam, yaitu sistem muamalah mudlarabah, qiradh dan salam itu tidak dihidupkan. “Akibatnya, umat Islam terjerat ke dalam sistem bank yang mengandung riba”, celanya.
Fatwa NU ini lalu diikuti oleh Muhammadiyah melalui AS Projokusumo (sebagai PB Muhammadiyah).Alasan yang dikemukannya adalah karena fatwa tersebut diputuskan melalui perdebatan para ulama yang dikenal telah mendalami masalah-masalah hukum Islam. Majelis Ulama Indonesia, melalui KH Hasan Basri, menyambut baik keputusan NU ini. Menurut beliau, keputusan tersebut dikeluarkan atas dasar musyawarah para ulama yang memahami hukum Islam.
Fatwa ini menimbulkan reaksi antara yang pro dan kontra di kalangan ulama dan intelektual Muslim.Dari kubu yang tidak setuju, muncullah pernyataan dari Dekan Fakultas Syariah IAIN Jakarta, Dr Peunoh Daly.Ia berkata bahwa bank yang dibentuk oleh NU maupun Muhammadiyah seharusnya bank yang Islami, bukan bank yang hanya menjadi alat untuk pemerataan riba. Beliau menandaskan bahwa sampai sekarang belumlah ada bank yang bersifat Islami di Indonesia.Ia merasa heran mengapa sistem muamalah yang telah diatur oleh Islam, yaitu sistem muamalah mudlarabah, qiradh dan salam itu tidak dihidupkan. “Akibatnya, umat Islam terjerat ke dalam sistem bank yang mengandung riba”, celanya.
Di kalangan NU sendiri, ternyata ada suara yang tidak puas atas fatwa
ini.Kalangan fungsionaris Syuriah PB NU, misalnya, menilai bahwa fatwa tersebut
tidak sejalan dengan garis kebijakan mereka.Sebab, menurut mereka, NU
seharusnya membentuk bank muamalah mudlarabah (berdagang bersama yang saling
menguntungkan), bukan bank umum yang lebih cenderung menganut sistem rente.
Bagaimana silang pendapat di kalangan intelektual dan ulama modernis di negeri ini?Sesuaikah pendapat mereka dengan ketentuan syara’?Dapatkah pendapat mereka diterima?Lebih jauh dari itu, apakah mereka boleh disebut mujtahid atau lebih baik disebut sebagai muqallid?
Bagaimana silang pendapat di kalangan intelektual dan ulama modernis di negeri ini?Sesuaikah pendapat mereka dengan ketentuan syara’?Dapatkah pendapat mereka diterima?Lebih jauh dari itu, apakah mereka boleh disebut mujtahid atau lebih baik disebut sebagai muqallid?
Pendapat Intelektual dan Ulama Modernis
Di antara pekerjaan yang dikelola bank, maka yang menjadi topik permasalahan dalam Fikih Islam adalah soal bunga (rente) bank.Sebab, secara umum tujuan usaha bank adalah untuk memperoleh keuntungan dari perdagangan kredit.Bank memberikan kredit kepada orang luar dengan memungut bunga melalui pembayaran kredit (yang jumlahnya lebih besar dari besarnya kredit).Selisih pembayaran yang biasanya disebut bunga, itulah yang menjadi keuntungan usaha bank.
Di antara pekerjaan yang dikelola bank, maka yang menjadi topik permasalahan dalam Fikih Islam adalah soal bunga (rente) bank.Sebab, secara umum tujuan usaha bank adalah untuk memperoleh keuntungan dari perdagangan kredit.Bank memberikan kredit kepada orang luar dengan memungut bunga melalui pembayaran kredit (yang jumlahnya lebih besar dari besarnya kredit).Selisih pembayaran yang biasanya disebut bunga, itulah yang menjadi keuntungan usaha bank.
Dalam masalah ini, para intelektual dan ulama modernis mempunyai pendapat yang
berbeda-beda, tergantung dari sudut pandang mereka.Ada segolongan dari mereka
yang mengharamkannya karena bunga bank tersebut dipandang sebagai riba.Tetapi
segolongan lainnya menghalalkannya.
Ke dalam kubu pertama (yang mengharamkan bunga bank), tersebutlah Mahmud Abu Saud (Mantan Penasehat Bank Pakistan), berpendapat bahwa segala bentuk rente (bank) yang terkenal dalam sistem perekonomian sekarang ini adalah riba.Lalu kita juga mendengar pendapat Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Cairo yang memandang bahwa riba Nasi’ah sudah jelas keharamannya dalam Al Qur-aan.Akan tetapi banyak orang yang tertarik kepada sistem perekonomian orang Yahudi yang saat ini menguasai perekonomian dunia.Mereka memandang bahwa sistem riba itu kini bersifat darurat yang tidak mungkin dapat dielakkan.Lantas mereka mena’wilkan dan membahas makna riba.Padahal sudah jelas bahwa makna riba itu adalah riba yang dilakukan oleh semua bank yang ada dewasa ini, dan tidak ada keraguan lagi tentang keharamannya.Buya Hamka secara sederhana memberikan batasan bahwa arti riba adalah tambahan. Maka, apakah ia tambahan lipat-ganda, atau tambahan 10 menjadi 11, atau tambahan 6% atau tambahan 10%, dan sebagainya, tidak dapat tidak tentulah terhitung riba juga. Oleh karena itu, susahlah buat tidak mengatakan bahwa meminjam uang dari bank dengan rente sekian adalah riba.(Dengan demikian) menyimpan dengan bunga sekian (deposito) artinya makan riba juga.
Ke dalam kubu pertama (yang mengharamkan bunga bank), tersebutlah Mahmud Abu Saud (Mantan Penasehat Bank Pakistan), berpendapat bahwa segala bentuk rente (bank) yang terkenal dalam sistem perekonomian sekarang ini adalah riba.Lalu kita juga mendengar pendapat Muhammad Abu Zahrah, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Hukum Universitas Cairo yang memandang bahwa riba Nasi’ah sudah jelas keharamannya dalam Al Qur-aan.Akan tetapi banyak orang yang tertarik kepada sistem perekonomian orang Yahudi yang saat ini menguasai perekonomian dunia.Mereka memandang bahwa sistem riba itu kini bersifat darurat yang tidak mungkin dapat dielakkan.Lantas mereka mena’wilkan dan membahas makna riba.Padahal sudah jelas bahwa makna riba itu adalah riba yang dilakukan oleh semua bank yang ada dewasa ini, dan tidak ada keraguan lagi tentang keharamannya.Buya Hamka secara sederhana memberikan batasan bahwa arti riba adalah tambahan. Maka, apakah ia tambahan lipat-ganda, atau tambahan 10 menjadi 11, atau tambahan 6% atau tambahan 10%, dan sebagainya, tidak dapat tidak tentulah terhitung riba juga. Oleh karena itu, susahlah buat tidak mengatakan bahwa meminjam uang dari bank dengan rente sekian adalah riba.(Dengan demikian) menyimpan dengan bunga sekian (deposito) artinya makan riba juga.
Ke dalam kubu kedua (yang menghalalkan bunga bank), peminatnya kebanyakan berasal
dari kalangan intelektual dan ulama modernis.Mereka memandang bahwa bunga bank
yang berlaku sekarang ini dalam batas-batas yang wajar, tidaklah dapat
dipandang haram. Tersebutlah A. Hasan, salah seorang pemuka Persatuan Islam
(Persis), yang mengemukakan bahwa riba yang sudah tentu haramnya itu ialah yang
sifatnya berganda dan yang membawa (menyebabkan) ia berganda. Menurut beliau,
riba yang sedikit dan yang tidak membawa kepada berganda, maka itu boleh.Ia
menambahkan bahwa riba yang tidak haram adalah riba yang tidak mahal (besar)
dan yang berupa pinjaman untuk tujuan berdagang, bertani, berusaha, pertukangan
dan sebagainya, yakni yang bersifat produktif.
Drs Syarbini Harahap berpendapat bahwa bunga konsumtif yang dipungut oleh bank
tidaklah sama dengan riba. Karena, menurutnya, di sana tidak terdapat unsur
penganiayaan. Adapun jika bunga konsumtif itu dipungut oleh lintah darat,
maka ia dapat dipandang sebagai riba. Sebab, praktek tersebut memberikan
kemungkinan adanya penganiayaan dan unsur pemerasan antarsesama warga masyarakat,
mengingat bahwa lintah darat hanya mengejar keuntungan untuk dirinya
sendiri.Adapun jika bunga tersebut dipungut dari orang yang meminjam untuk
tujuan-tujuan yang produktif seperti untuk perniagaan, asalkan saja tidak ada
dalam teknis pemungutan tersebut unsur paksaan atau pemerasan, maka tidaklah
salah dan tidak ada keharaman padanya.
Pernyataan Syarbini Harahap ini dalam perkembangan selanjutnya, ternyata sama
nadanya dengan apa yang difatwakan NU via Abdurrahman wahid, atau lewat
pernyataan Syafruddin Prawiranegara, Muhammad Hatta, Kasman Singodimejo, dan
lain-lain.
Bertolak dari alasan bahwa transaksi kredit merupakan kegiatan perdagangan
dengan uang sebagai komoditi, Dawan Rahardjo, mengatakan bahwa kalau transaksi
kredit dilakukan dengan prinsip perdagangan (tijarah), maka hal tersebut
dihalalkan.Riba yang tingkat bunganya berlipat ganda dan diharamkan itu perlu
digantikan dengan mekanisme perdagangan yang dihalalkan.
Berbagai pendapat dan fatwa yang berani tersebut dalam upaya menghalalkan riba
dalam bentuk bunga bank telah melibatkan jutaan kaum Muslimin ke dalam kegiatan
perbankan.Walaupun demikian masih terdapat jutaan lainnya yang membenci praktek
dan menjauhi dari memakan harta riba. Kebencian mereka terhadap praktek riba
tersebut sama halnya dengan kebencian mereka memakan daging babi. Oleh karena
itu masih banyak kalangan kaum Muslimin yang tidak mau meminjam dan menyimpan
uang di bank karena takut terlibat riba, walaupun di kalangan kaum Muslimin
tidak banyak mengerti sejauh mana aspek hukum dan kegiatan perbankan, serta
banyak pula di antara mereka yang bingung terhadap hukum yang sebenarnya
tentang riba (bunga) bank. Itulah fakta tentang keadaan umat Islam setelah
umat ini diragukan dan dikaburkan pengertian mereka terhadap riba (bunga) bank.
Bolehkah Kita Menghalalkan Riba ?
Orang Islam yang awam sekalipun pasti tahu bahwa memakan harta riba adalah dosa besar.Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa memakan harta riba termasuk dosa yang paling besar setelah dosa syirik, praktek sihir, membunuh, dan memakan harta anak yatim.Malah dalam sebuah Hadits lainnya disebutkan bahwa perbuatan riba itu derajatnya 36 kali lebih besar dosanya dibandingkan dengan dosa berzina. Rasul SAW bersabda :
Orang Islam yang awam sekalipun pasti tahu bahwa memakan harta riba adalah dosa besar.Bahkan dalam sebuah hadits disebutkan bahwa memakan harta riba termasuk dosa yang paling besar setelah dosa syirik, praktek sihir, membunuh, dan memakan harta anak yatim.Malah dalam sebuah Hadits lainnya disebutkan bahwa perbuatan riba itu derajatnya 36 kali lebih besar dosanya dibandingkan dengan dosa berzina. Rasul SAW bersabda :
“Satu dirham yang diperoleh oleh seseorang dari (perbuatan) riba
lebih besar dosanya 36 kali daripada perbuatan zina di dalam Islam (setelah
masuk Islam)” (HR Al Baihaqy, dari Anas bin Malik).
Oleh karena itu, tidak ada satupun perbuatan yang lebih dilaknat
Allah SWT selain riba. Sehingga Allah SWT memberikan peringatan yang keras
bahwa orang-orang yang memakan riba akan diperangi (QS Al Baqarah : 279).
Jika pada awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, akan tetapi sebelum Rasulullah saw wafat, telah diturunkan yaitu ayat-ayat riba (QS Al Baqarah dari ayat 278-281) yang menurut asbabun nuzul-nya merupakan ayat-ayat terakhir dari Al Qur-aan. Dalam rangkaian ayat-ayat tersebut ditegaskan bahwa riba, baik kecil maupun besar, berlipat ganda atau tidak, maka ia tetap diharamkan sampai Hari Kiamat. Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari rangkaian ayat-ayat tersebut, Allah SWT telah mengharamkan segala jenis riba, termasuklah di antaranya riba (bunga) bank:
Jika pada awalnya riba yang diharamkan hanya yang berlipat ganda, akan tetapi sebelum Rasulullah saw wafat, telah diturunkan yaitu ayat-ayat riba (QS Al Baqarah dari ayat 278-281) yang menurut asbabun nuzul-nya merupakan ayat-ayat terakhir dari Al Qur-aan. Dalam rangkaian ayat-ayat tersebut ditegaskan bahwa riba, baik kecil maupun besar, berlipat ganda atau tidak, maka ia tetap diharamkan sampai Hari Kiamat. Lebih dari itu, melalui ayat 275 dari rangkaian ayat-ayat tersebut, Allah SWT telah mengharamkan segala jenis riba, termasuklah di antaranya riba (bunga) bank:
“Mereka berkata (berpendapat bahwa) sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba; padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan telah
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepada mereka larangan
tersebut dari Rabbnya lalu berhenti (dari mengambil riba), maka baginya apa
yang telah diambilnya (dipungut) pada waktu dulu (sebelum datangnya larang
ini) dan urusannya (terserah) Allah. Sedangkan bagi orang-orang yang mengulangi
(mengambil riba), maka orang-orang tersebut adalah penghuni neraka; mereka
kekal di dalamnya” (QS Al Baqarah : 275).
Dalam hal ini, Ibnu Abbas berkata:
“Siapa saja yang masih tetap mengambil riba dan tidak mau
meninggalkannya, maka telah menjadi kewajiban bagi seorang Imam (Kepala Negara
Islam) untuk menasehati orang-orang tersebut. Tetapi kalau mereka masih tetap
membandel, maka seorang Imam dibolehkan memenggal lehernya”.
Juga Al Hasan bin Ali dan Ibnu Sirin berkata:
“Demi Allah, orang-orang yang memperjualbelikan mata-uang (money
changer) adalah orang-orang yang memakan riba. Mereka telah diingatkan dengan
ancaman akan diperangi oleh Allah dan RasulNya. Bila ada seorang Imam yang adil
(Kepala Negara Islam), maka si Imam harus memberikan nasehat agar orang
tersebut bertaubat (yaitu meninggalkan riba). Bila orang-orang tersebut menolak,
maka mereka tersebut wajib diperangi”.
Apa sesungguhnya riba itu? Secara global dapatlah disebutkan
bahwa definisi riba adalah :
“Tambahan yang terdapat dalam akad yang berasal dari salah satu pihak, baik dari segi (perolehan) uang, materi/barang, dan atau waktu, tanpa ada usaha dari pihak yang menerima tambahan tersebut”.
Definisi ini kiranya mampu mencakup semua jenis dan bentuk riba, baik yang pernah ada pada masa jahiliyah (riba Fadhal, riba Nasi’ah, riba Al Qardh), maupun riba yang ada pada masa sekarang ini, seperti riba bank yang mencakup bunga dari pinjaman kredit, investasi deposito, jual-beli saham dan surat berharga lainnya, dan atau riba jual-beli barang dan uang. Untuk riba yang terakhir ini contohnya banyak dan dapat berkembang pada setiap masa.
Berdasarkan definisi ini, maka walaupun nama dan jenisnya berbeda namun riba dapat mencakup banyak macam yang kiranya melebihi 73 macam menurut keterangan dari Hadits Rasulullah saw. Rasulullah saw melalui penglihatan ghaib yang bersandarkan kepada wahyu, telah mengetahui bahwa suatu saat nanti umat Islam akan menghalalkan riba dengan alasan perdagangan (bisnis), seperti yang tertera pada hadits pembuka tulisan ini. Lebih dari itu, beliau telah diberitahukan bahwa riba pada masa yang akan datang (misalnya zaman sekarang dan seterusnya) akan meliputi berbagai aktivitas bidang kehidupan ekonomi dan keuangan yang akhirnya akan melibatkan seluruh kaum Muslimin. Sabda Rasulullah saw:
“Tambahan yang terdapat dalam akad yang berasal dari salah satu pihak, baik dari segi (perolehan) uang, materi/barang, dan atau waktu, tanpa ada usaha dari pihak yang menerima tambahan tersebut”.
Definisi ini kiranya mampu mencakup semua jenis dan bentuk riba, baik yang pernah ada pada masa jahiliyah (riba Fadhal, riba Nasi’ah, riba Al Qardh), maupun riba yang ada pada masa sekarang ini, seperti riba bank yang mencakup bunga dari pinjaman kredit, investasi deposito, jual-beli saham dan surat berharga lainnya, dan atau riba jual-beli barang dan uang. Untuk riba yang terakhir ini contohnya banyak dan dapat berkembang pada setiap masa.
Berdasarkan definisi ini, maka walaupun nama dan jenisnya berbeda namun riba dapat mencakup banyak macam yang kiranya melebihi 73 macam menurut keterangan dari Hadits Rasulullah saw. Rasulullah saw melalui penglihatan ghaib yang bersandarkan kepada wahyu, telah mengetahui bahwa suatu saat nanti umat Islam akan menghalalkan riba dengan alasan perdagangan (bisnis), seperti yang tertera pada hadits pembuka tulisan ini. Lebih dari itu, beliau telah diberitahukan bahwa riba pada masa yang akan datang (misalnya zaman sekarang dan seterusnya) akan meliputi berbagai aktivitas bidang kehidupan ekonomi dan keuangan yang akhirnya akan melibatkan seluruh kaum Muslimin. Sabda Rasulullah saw:
“Riba itu mempunyai 73 macam. Sedangkan (dosa) yang paling
ringan (dari macam-macam riba tersebut) adalah seperti seseorang yang menikahi
(menzinai) ibu kandungnya sendiri…” (HR Ibnu Majah, hadits No.2275; dan Al
Hakim, Jilid II halaman 37; dari Ibnu Mas’ud, dengan sanad yang shahih).
Juga sabda Rasulullah saw:
“Sungguh akan datang pada manusia suatu masa (ketika) tiada
seorangpun di antara mereka yang tidak akan memakan (harta) riba. Siapa saja
yang (berusaha) tidak memakannya, maka ia tetap akan terkena debu (riba)nya”
(HR Ibnu Majah, hadits No.2278 dan Sunan Abu Dawud, hadits No.3331; dari Abu
Hurairah).
Semua dalil di atas menunjukkan bahwa segala bentuk dan jenis
riba adalah haram tanpa melihat lagi apakah riba tersebut telah ada pada masa
jahiliyah atau riba yang muncul pada zaman sekarang. Pengertian ini ditegaskan
pada ayat 275 surat Al Baqarah tersebut isinya bersifat umum, yakni hukumnya
mencakup semua bentuk dan jenis riba; baik yang nyata maupun tersembunyi,
sedikit persentasenya atau berlipat ganda, konsumtif maupun produktif.
Lafazh yang bersifat umum menurut kaidah Ushul Fiqih tidaklah boleh dibatasi dan disempitkan pengertiannya. Kaidah Ushul itu berbunyi:
Lafazh yang bersifat umum menurut kaidah Ushul Fiqih tidaklah boleh dibatasi dan disempitkan pengertiannya. Kaidah Ushul itu berbunyi:
“Lafazh umum akan tetap bersifat umum selama tidak terdapat
dalil (syar’iy) yang mentakhsishkannya (yang mengecualikannya)”.
Dalam hal ini tidak terdapat satu ayat maupun hadits yang
menghalalkan sebagian dari bentuk dan jenis riba (misalnya riba produktif),
dan atau hanya mengharamkan sebagian yang lainnya (misalnya riba yang berlipat
ganda, konsumtif, riba lintah darat).Dengan demikian, telah jelas bagi kita
bahwa semua bentuk dan jenis riba adalah haram dan tetap haram sampai Hari
Kiamat. Oleh karena itu, atas dasar apa para intelektual dan ulama modernis
sampai berani menghalalkan riba bunga bank? Mereka telah berani membeda-bedakan
halal-haramnya berdasarkan sifat konsumtif dan produktif, padahal Allah SWT dan
Rasul-Nya tidak pernah membeda-bedakan bentuk dan jenis riba.Tidak ada satupun
illat (sebab ditetapkannya hukum) bagi keharaman riba. Apakah kaum intelektual
dan ulama modernis ingin mengubah hukum Allah SWT dari haram menjadi halal
hanya karena faktor kemaslahatan, semisal untuk pembangunan, mengatasi
kemiskinan; atau karena pada masa sekarang kegiatan perbankan yang
berlandaskan kepada aktivitas riba sudah merajalela dalam masyarakat kaum
Muslimin?
Barangkali kaum intelektual dan ulama modernis tidak takut lagi kepada ancaman dan siksa dari Allah SWT:
Barangkali kaum intelektual dan ulama modernis tidak takut lagi kepada ancaman dan siksa dari Allah SWT:
“Bila muncul perzinaan dan berbagai jenis dan bentuk riba di
suatu kampung, maka benar-benar orang sudah mengabaikan (tak perduli) sama
sekali terhadap siksa dari Allah yang akan menimpa mereka (pada suatu saat
nanti)” (HR Thabrani, Al Hakim, dan Ibnu Abbas; Lihat Yusuf An Nabahani, Fath
Al Kabir, Jilid I, halaman 132).
Pendapat dan fatwa yang muncul dari kalangan intelektual dan
ulama modernis sesungguhnya tidak pada tempatnya dan tidak pula memenuhi syarat
bagi orang yang berwenang untuk berijtihad serta tidak layak disebut sebagai
ulama mujtahid. Oleh karena itu mereka tidak berhak mengeluarkan fatwa, apalagi
untuk mengubah hukum Allah SWT dan Rasul-Nya !
Umat Islam diperintahkan untuk menolak setiap fatwa yang tidak berlandaskan kepada syariat Islam.Kita wajib menolaknya, bahkan wajib dicegah setiap hukum yang berlandaskan kepada akal dan hawa nafsu.Sebab, manusia tidak berhak menentukan satu hukumpun.Ia harus tunduk kepada hukum Allah SWT dan RasulNya semata. Bila kita menaati intelektual dan ulama modernis yang menghalalkan riba, maka itu sama artinya kita menjadikan mereka sebagai Tuhan yang disembah. Itulah yang pernah dikatakan oleh Rasulullah saw kepada ‘Adiy bin Hatim, ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT:
Umat Islam diperintahkan untuk menolak setiap fatwa yang tidak berlandaskan kepada syariat Islam.Kita wajib menolaknya, bahkan wajib dicegah setiap hukum yang berlandaskan kepada akal dan hawa nafsu.Sebab, manusia tidak berhak menentukan satu hukumpun.Ia harus tunduk kepada hukum Allah SWT dan RasulNya semata. Bila kita menaati intelektual dan ulama modernis yang menghalalkan riba, maka itu sama artinya kita menjadikan mereka sebagai Tuhan yang disembah. Itulah yang pernah dikatakan oleh Rasulullah saw kepada ‘Adiy bin Hatim, ketika beliau menyampaikan firman Allah SWT:
“Mereka mengangkat pendeta-pendeta dan rahib-rahibnya sebagai
Tuhan selain Allah, dan (juga mereka mempertuhankan) Al Masih putra Mariyam;
padahal mereka hanya disuruh menyembah Tuhan Yang Satu: Tiada Tuhan kecuali
Dia. Maha Suci (Allah SWT) dari yang mereka persekutukan” (QS At Taubah : 31).
Kemudian Adiy bin Hatim berkata :
“Kami tidak menyembah mereka (para Rahib dan Pendeta) itu”.
Rasulullah menjawab: “Sesungguhnya mereka telah menghalalkan apa yang telah
dahulu diharamkan, mengharamkan apa yang telah dihalalkan, lalu kalian menaati
mereka. Itulah bentuk penyembahan kalian terhadap mereka” (HR Imam Ahmad,
Tirmidzi, Ibnu Jarir, dari ‘Adiy bin Hatim. Lihat Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I,
halaman 349).
Apakah umat Islam ingin menjadikan ulama seperti di atas sebagai
Tuhan sesembahan yang berhak menentukan halal dan haramnya sesuatu perbuatan?
Ya Allah, kami sudah menyampaikannya.Saksikanlah !
Ya Allah, kami sudah menyampaikannya.Saksikanlah !
Tidak ada komentar:
Posting Komentar